Satelit Altimetri sebagai teknologi pemetaan masa kini dan masa yang akan datang

Dapat memantau seluruh permukaan laut global tanpa henti dalam periode panjang menjadi sangat penting karena data permukaan laut rata-rata dari masa ke masa adalah indikator dari perubahan iklim akibat global warming.  Permukaan laut rata-rata ini dapat menggambarkan reaksi dari beberapa komponen yang berbeda dari sistem iklim bumi.  Perubahan iklim semakin mengkhawatirkan sebab setiap kenaikan permukaan laut yang ditimbulkannya juga sangat berdampak pada sosial ekonomi.

Satelit altimetri adalah teknologi masa kini dan masa yang akan datang.  Terbukti, satelit altimetri sejak dinyatakan operasional tahun 1992 telah memantau seluruh permukaan lautan dengan kualitas pengamatan yang relatif homogen dan teliti.  Kontribusinya sangat signifikan pada berbagai keperluan ilmiah dan praktis seperti pemetaan, oseanografi, geofisik, perikanan dan perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut.

Namun dibalik kemajuan pemantauan berbasis teknologi satelit, bukan dimaksudkan bahwa pengamatan tradisonal pemantauan laut di garis pantai seperti pasang surut sudah tidak diperlukan lagi.  Peran stasiun pasang surut tak kalah penting sebagai titik kontrol bagi pemantauan satelit di bumi.

Peluncuran satelit altimeter dalam tahun berbeda telah berhasil menjaga keberlangsungan pengamatan satelit altimetri pada orbitnya.  Era Satelite altimetry bermula dari keberhasilan Seasat (1978) dan kemudian Geosat (1985) oleh NASA Amerika Serikat.  Kemudian Badan Angkasa Luar Eropa (ESA) berhasil meluncurkan ERS-1 (1991) dan ERS-2 (1995) dan Amerika meluncurkan GFO (1998).  Amerika bekerja sama dengan Perancis meluncurkan 3 satelit yaitu Topex/Poseidon (1992), dan Jason-1 (2001)  dan Jason-2 (2008) and kembali ESA meluncurkan Envisat (2002).  Negara Cina baru saja di bulan Agustus berhasil meluncurkan satelit Altimetri HY-2 dan India beserta Jepang akan menyusul di beberapa tahun mendatang.

Teknologi berbasis satelit seperti satelit altimetri begitu menarik minat para ahli kelautan karena satelit altimetri ini adalah satelit remote sensing yang datanya terbuka diakses bebas via internet, tidak seperti satelit remote sensing lainnya yang citranya relatif mahal.  Apa yang terjadi pada fenomena pesatnya kemajuan dan kreativitas yang terjadi pada sistem operasi dan aplikasi open source, hal yang sama terjadi juga pada teknologi altimetri, perkembangan dan aplikasinya sangat luar biasa pesat.

Diakui, kualitas pemantauan satelit altimetri di lautan lepas sudah begitu baik dan teliti, namun untuk daerah pantai dan laut dangkal seperti Perairan Kepulauan Indnesia, data satelit altimetri masih kurang bagus karena ketelitiannya menurun drastis akibat distorsi sinyal ketika melintas di sekitar batas pantai.  Pengolahan datanya pun cukup rumit dan perlu pengetahuan khusus.

Sekarang perhatian para ahli semakin tertuju pada meningkatkan ketelitia altimetri di daerah perairan pantai karena penggunaannya berpotensi besar dari segi ilmiah dan keperluan praktis.  Inilah menjadi salah satu motivasi bagi Bakosurtanal membangun komunitas para ahli satelit altimetri melalui workshop, training dan kegiatan penelitian terapan.

Kenaikan permukaan laut global sebesar 3 mm/tahun baru meyakinkan para ahli setelah data altimetri membenarkannya. Nilai nominal kecepatan kenaikan permukaaan laut 3 mm/tahun sepertinya bisa menyesatkan tidak akan membahayakan kehidupan bumi karena besarnya dapat dikatakan cukup kecil bagi pengamatan mata kita.  Akan tetapi dampak ikutannya akan terlihat bukan saja bila dilihat dampak jangka panjang misalnya kenaikan 100 tahun total akan menjadi 30 centimeter.  Selain itu, akibat kenaikan permukaan laut di berbagai belahan dunia secara regional sangat bervariasi.  Mencairnya lapisan es terutama di Greenland, sebagai penyebab utama kenaikan permukaan laut, berdasarkan hasil analisis pengamatan satelit altimeter ternyata kenaikan permukaan laut ternyata lebih tinggi di kawasan Pantai Indonesia Timur dibandingkan dengan kawasan Pantai di Indonesia Barat dan belahan dunia lainnya.

Workshop ini merupakan bagian kegiatan bersama Bakosurtanal dengan Projek Riset Reconstruction of Sea Level Change in South Asia Using Satellite Altimetry and Tide Gauge Data (RESELECASEA).  Proyek RESELECASEA mendapat pendanaan riset kompetitif dari Asia Pacific Network for Global Change Research (APN) yang sekretariatnya di Tokyo.  Tujuan Projek RESELECASEA ini adalah, pertama, meningkatkan kemampuan para peneliti kita dalam pengolahan dan penggunaan data satelit altimeter dan kedua untuk merekontruksi peta kenaikan permukaan laut di Asia Tenggara dengan menggunakan data Satellit Altimeter dan data hasil pengamatan pasang surut.  Kegiatan ini, dengan Dr. Parluhutan Manurung dari Bakosurtanal sebagai peneliti utama, mendapat dukungan dari Prof. Robert R Leben dari University of Colorado yang telah mengerjakan pengembangan satelit altimeter di NASA dan berbagai kegiatan pemantauan arus di sekitar Teluk Meksiko dan Dr. Stefano Vignudelli adalah editor buku Coastal Altimetry dari Italia.  Peneliti Vietnam juga disertakan untuk memperluas uji coba model yang dikembangkan lebih luas ke negara tersebut.

Peta permukaan laut akan menyajikan pola-pola perubahan yang terjadi di permukaan lautan seperti perputaran arus, gelombang, lintasan tsunami, dan La Nino dan El Nino.  Pola perubahan permukaan laut ini juga memberi sinyal penting terkait dengan biota laut dan distribusi phyto plankton sehingga industri perikanan juga memakai satelit altimetri untuk meningkatkan volume tangkapan.  Berbagai praktek sudah menunjukkan hasil menggembirakan terbukti hasil satelit altimetri memiliki kesesuaian yang tinggi dengan citra satelit lainnya.  Dunia Industri kelautan berlomba memanfaatkan keunggulan pengamatan satelit altimetri yaitu homogen, terus menerus dan dapat diakses bebas.  (Dr. Asep Karsidi – Kepala BAKOSURTANAL)